Sekolah 5 Centi
Setiap kali berkunjung ke Yerusalem, saya sering tertegun melihat
orang-orang Yahudi orthodox yang penampilannya sama semua. Agak mirip
dengan China di era Mao yang masyarakatnya dibangun oleh dogma pada
rezim otoriter dengan pakaian ala Mao. Di China, orang-orang tua di era
Mao jarang senyum, sama seperti orang Yahudi yang baru terlihat happy
saat upacara tertentu di depan Tembok Ratapan. Itupun tak semuanya.
Sebagian terlihat murung dan menangis persis di depan tembok yang banyak
celahnya dan di isi kertas-kertas bertuliskan harapan dan doa.
Perhatian saya tertuju pada jas hitam, baju putih, janggut panjang
dan topi kulit berwarna hitam yang menjulang tinggi di atas kepala
mereka. Menurut Dr. Stephen Carr Leon yang pernah tinggal di Yerusalem,
saat istri mereka mengandung, para suami akan lebih sering berada di
rumah mengajari istri rumus-rumus matematika atau bermain musik. Mereka
ingin anak-anak mereka secerdas Albert Einstein, atau sehebat Violis
terkenal Itzhak Perlman.
Saya kira bukan hanya orang Yahudi yang ingin anak-anaknya menjadi
orang pintar. Di Amerika Serikat, saya juga melihat orang-orang India
yang membanting tulang habis-habisan agar bisa menyekolahkan anaknya. Di
Bekasi, saya pernah bertemu dengan orang Batak yang membuka usaha
tambal ban di pinggir jalan. Dan begitu saya intip rumahnya, di dalam
biliknya yang terbuat dari bambu dan gedek saya melihat seorang anak
usia SD sedang belajar sambil minum susu di depan lampu templok yang
terterpa angin.Tapi tahukah anda, orang-orang yang sukses itu sekolahnya
bukan hanya 5 senti?
Dari Atas atau Bawah ? Sekolah 5 senti dimulai dari kepala di bagian
atas. Supaya fokus, maka saat bersekolah, tangan harus dilipat, duduk
tenang dan mendengarkan. Setelah itu, apa yang di pelajari di bangku
sekolah diulang dirumah, di tata satu persatu seperti melakukan filing,
supaya tersimpan teratur di otak. Orang-orang yang sekolahnya 5 senti
mengutamakan raport dan transkrip nilai. Itu mencerminkan seberapa penuh
isi kepalanya. Kalau diukur dari kepala bagian atas, ya paling jauh
menyerap hingga 5 sentimeter ke bawah.
Tetapi ada juga yang mulainya bukan dari atas, melainkan dari alas
kaki. Pintarnya, minimal harus 50 senti, hingga ke lutut. Kata Bob
Sadino, ini cara goblok. Enggak usah mikir, jalan aja, coba, rasain,
lama-lama otomatis naik ke atas. Cuma, mulai dari atas atau dari bawah,
ternyata sama saja. Sama-sama bisa sukses dan bisa gagal. Tergantung
berhentinya sampai dimana.
Ada orang yang mulainya dari atas dan berhenti di 5 senti itu, ia
hanya menjadi akademisi yang steril dan frustasi. Hanya bisa mikir tak
bisa ngomong, menulis, apalagi memberi contoh. Sedangkan yang mulainya
dari bawah juga ada yang berhenti sampai dengkul saja, seperti menjadi
pengayuh becak. Keduanya sama-sama berat menjalani hidup, kendati yang
pertama dulu bersekolah di ITB atau ITS dengan IPK 4.0. Supaya bisa
menjadi manusia unggul, para imigran Arab, Yahudi, China, dan India di
Amerika Serikat menciptakan kondisi agar anak-anak mereka tidak sekolah
hanya 5 senti tetapi sekolah 2 meter. Dari atas kepala hingga telapak
kaki. Pintar itu bukan hanya untuk berpikir saja, melainkan juga
menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan hubungan ke kiri dan kanan,
mengambil dan memberi, menulis dan berbicara. Otak, tangan, kaki dan
mulut sama-sama di sekolahkan, dan sama-sama harus bekerja. Sekarang
saya jadi mengerti mengapa orang-orang Yahudi Mengirim anak-anaknya ke
sekolah musik, atau mengapa anak-anak orang Tionghoa di tugaskan menjaga
toko, melayani pembeli selepas sekolah.
Sekarang ini Indonesia sedang banyak masalah karena guru-guru dan
dosen-dosen nya – maaf- sebagian besar hanya pintar 5 senti dan mereka
mau murid-murid nya sama seperti mereka. Guru Besar Ilmu Teknik (sipil)
yang pintarnya hanya 5 senti hanya asyik membaca berita saat mendengar
Jembatan Kutai Kartanegara ambruk atau terjadi gempa di Padang. Guru
besar yang pintarnya 2 meter segera berkemas dan berangkat meninjau
lokasi, memeriksa dan mencari penyebabnya. Mereka menulis karangan
ilmiah dan memberikan simposium kepada generasi baru tentang apa yang
ditemukan di lapangan.Yang sekolahnya 5 senti hanya bisa berkomentar
atas komentar-komentar orang lain. Sedangkan yang pandainya 2 meter
cepat kaki dan ringan tangan.Sebaliknya yang pandainya dari bawah dan
berhenti sampai di dengkul hanya bisa marah-marah dan membodoh-bodohi
orang-orang pintar, padahal usahanya banyak masalah.
Saya pernah bertemu dengan orang yang memulainya dari bawah, dari
dengkul nya, lalu bekerja di perusahaan tambang sebagai tenaga fisik
lepas pantai. Walau sekolahnya susah, ia terus menabung sampai akhirnya
tiba di Amerika Serikat. Disana ia hanya tahu Berkeley University dari
koran yang menyebut asal sekolah para ekonom terkenal.Tetapi karena
bahasa inggris nya buruk, dan pengetahuannya kurang, ia beberap kali
tertipu dan masuk di kampus Berkeley yang sekolahnya abal-abal. Bukan
Berkeley yang menjadi sekolah para ekonom terkenal. Itupun baru setahun
kemudian ia sadari, yaitu saat duitnya habis. Sekolah tidak jelas, uang
pun tak ada, ia harus kembali ke Jakarta dan bekerja lagi di rig lepas
pantai.
Dua tahun kemudian orang ini kembali ke Berkeley, dan semua orang
terkejut kini ia bersekolah di Business School yang paling bergengsi di
Berkeley. Apa kiatnya? “Saya datangi dekannya, dan saya minta diberi
kesempatan . Saya katakan, saya akan buktikan saya bisa
menyelesaikannya. Tetapi kalau tidak diberi kesempatan bagaimana saya
membuktikannya?”Teman-teman nya bercerita, sewaktu ia kembali ke
Berkeley semua orang Indonesia bertepuk tangan karena terharu. Anda mau
tahu dimana ia berada sekarang?Setelah meraih gelar MBA dari Berkeley
dan meniti karir nya sebagai eksekutif, kini orang hebat ini menjadi
pengusaha dalam bidang energy yang ramah lingkungan, besar dan
inovatif.Saya juga bisa bercerita banyak tentang dosen-dosen tertentu
yang pintarnya sama seperti Anda, tetapi mereka tidak hanya pintar
bicara melainkan juga berbuat, menjalankan apa yang dipikirkan dan
sebaliknya.
Maka jangan percaya kalau ada yang bilang sukses itu bisa dicapai
melalui sekolah atau sebaliknya. Sukses itu bisa dimulai dari mana saja,
dari atas oke, dari bawah juga tidak masalah. Yang penting jangan
berhenti hanya 5 senti, atau 50 senti. Seperti otak orang tua yang harus
di latih, fisik anak-anak muda juga harus di sekolahkan. Dan sekolahnya
bukan di atas bangku, tetapi ada di alam semesta, berteman debu dan
lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.
Rhenald Kasali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar