Dua Jenis Guru (oleh Rhenald Kasali)
suatu pemikiran yang menjawab kenapa pendidikan di Indonesia tak maju2.
Tulisan menarik dari Rhenald Kasali di Seputar Indonesia (Kamis, 5 Mei 2011) untuk kita (terutama saya) renungkan.
Di
Hari Pendidikan lalu, saya bertemu dua jenis guru. Guru pertama adalah
guru kognitif, sedangkan guru kedua adalah guru kreatif. Guru kognitif
sangat berpengetahuan.Mereka hafal segala macam rumus, banyak bicara,
banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan.
Sebaliknya,
guru kreatif lebih banyak tersenyum,namun tangan dan badannya bergerak
aktif. Setiap kali diajak bicara dia mulai dengan mendengarkan, dan
saat menjelaskan sesuatu, dia selalu mencari alat peraga.Entah itu
tutup pulpen, botol plastik air mineral,kertas lipat,lidi,atau apa
saja. Lantaran jumlahnya hanya sedikit, guru kreatif jarang diberi
kesempatan berbicara. Dia tenggelam di antara puluhan guru kognitif
yang bicaranya selalu melebar ke mana-mana. Mungkin karena guru
kognitif tahu banyak, sedangkan guru kreatif berbuatnya lebih banyak.
Guru Kognitif
Guru
kognitif hanya mengajar dengan mulutnya.Dia berbicara panjang lebar di
depan siswa dengan menggunakan alat tulis. Guru-guru ini biasanya
sangat bangga dengan murid-murid yang mendapat nilai tinggi. Guru ini
juga bangga kepada siswanya yang disiplin belajar, rambutnya dipotong
rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana atau rok, dan hafal semua yang
dia ajarkan. Bagi guru-guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala
manusia, yaitu brain memory.Asumsinya, semakin banyak yang diketahui
seseorang, semakin pintarlah orang itu.
Dan semakin pintar akan
membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik. Guru kognitif
adalah guruguru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat memegang aturan,
atau meminjam istilah para birokrat (PNS),sangat patuh pada
”tupoksi”.Saya sering menyebut mereka sebagai guru kurikulum. Kalau di
silabus tertulis buku yang diajarkan adalah buku ”x” dan babbab yang
diberikan adalah bab satu sampai dua belas,mereka akan mengejarnya
persis seperti itu sampai tuntas.
Karena ujian masuk perguruan
tinggi adalah ujian rumus, guru-guru kognitif ini adalah kebanggaan
bagi anakanak yang lolos masuk di kampus-kampus favorit.Kalau sekarang,
mereka adalah kebanggaan bagi siswa-siswa peserta UN. Sayangnya,
sekarang banyak ditemukan anak-anak yang cerdas secara kognitif sulit
menemukan ”pintu” bagi masa depannya.Anak-anak ini tidak terlatih
menembus barikade masa depan yang penuh rintangan, lebih dinamis
ketimbang di masa lalu, kaya dengan persaingan, dan tahan banting.
Saya
sering menyebut anakanak produk guru kognitif ini ibarat kereta api
Jabodetabek yang hanya berjalan lebih cepat daripada kendaraan lain
karena jalannya diproteksi,bebas rintangan. Beda benar dengan kereta
supercepat Shinkanzen yang memang cepat. Yang satu hanya menaruh
lokomotif di kepalanya,sedangkan yang satunya lagi, selain di kepala,
lokomotif ada di atas seluruh roda besi dan relnya.
Guru Kreatif
Ini
guru yang sering kali dianggap aneh di belantara guru-guru
kognitif.Sudah jumlahnya sedikit, mereka sering kali kurang peduli
dengan tupoksi dan silabus. Mereka biasanya juga sangat toleran terhadap
perbedaan dan cara berpakaian siswa. Tetapi, mereka sebenarnya guru
yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya.Mereka bukan sibuk
mengisi kepala anak-anaknya dengan rumus-rumus, melainkan membongkar
anak-anak didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka.
Belenggu-
belenggu itu bisa jadi ditanam oleh para guru, orang tua, dan tradisi
seperti tampak jelas dalam membuat gambar (pemandangan, gunung dua
buah, matahari di antara keduanya, awan, sawah, dan seterusnya). Atau
belenggu-belenggu lain yang justru mengantarkan anak-anak pada
perilaku-perilaku selfish, ego-centrism,merasa paling benar,sulit
bergaul, mudah panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan
seterusnya.
Guru-guru ini mengajarkan life skills, bukan sekadar
soft skills, apalagi hard skill. Berbeda dengan guru kognitif yang tak
punya waktu berbicara tentang kehidupan, mereka justru bercerita
tentang kehidupan (context) yang didiami anak didik. Namun, lebih dari
itu, mereka aktif menggunakan segala macam alat peraga. Bagi mereka,
memori tak hanya ada di kepala, tapi juga ada di seluruh tubuh manusia.
Memori
manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai myelin dan para
neuroscientistmodern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak
(muscle memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor
pembentuk harta tak kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti
gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empati, keterampilan,disiplin
diri,dan seterusnya.
Saat bertemu guru-guru kognitif, saya sempat
bertanya apakah mereka menggunakan alat-alat peraga yang disediakan di
sekolah? Saya terkejut, hampir semua dari mereka bilang tidak perlu,
semua sudah jelas ada di buku. Beberapa di antara mereka bahkan tidak
tahu bahwa sekolah sudah menyediakan mikroskop dan alatalat bantu
lainnya. Sebaliknya,guru-guru kreatif mengatakan: ”Kalau tidak ada alat
peraga,kita akan buat sendiri dari limbah.
Kalau perlu, kita
ajak siswa turun ke lapangan mengunjungi lapangan. Kalau tak bisa
mendatangkan Bapak ke dalam kelas, kita ajak siswa ke rumah
Bapak,”ujarnya. Saya tertegun. Seperti itulah guru-guru yang sering
saya temui di negara-negara maju. Di negara-negara maju lebih banyak
guru kreatif daripada guru kognitif. Mereka tak bisa mencetak juara
Olimpiade Matematika atau Fisika,tetapi mereka mampu membuat generasi
muda menjadi inovator, entrepreneur, dan CEO besar.
Mereka kreatif
dan membukakan jalan menuju masa depan. Saat membuat disertasi di
University of Illinois, para guru besar saya bukan memaksa saya membuat
tesis apa yang mereka inginkan, melainkan mereka menggali dalam-dalam
minat dan objektif masa depan saya. Sewaktu saya bertanya, mereka
menjawab begini: ”Anda tidak memaksakan badan Anda pada baju kami, kami
hanya membantu setiap orang untuk membuat bajunya sendiri yang sesuai
dengan kebutuhannya.” Selamat merayakan Hari Pendidikan dan jadilah
guru yang mengantarkan kaum muda ke jendela masa depan mereka.
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar