Sebagian
besar pembaca, mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi yang sulit
sehingga kaya dengan berbagai peribahasa seperti: Hemat Pangkal Kaya dan
Rajin Pangkal Pandai. Kita bermain layang-layang di antara pematang
sawah yang tiada batasnya, menangkap belut di antara lumpur-lumpur
sungai yang airnya bening, bermain bersama anak-anak kampung dengan
tiada henti canda, tawa, dan keringat.
Bagaimana
anak-anak kita sekarang? Lahan-lahan kosong telah berganti menjadi
kebun sawit atau perumahan mewah. Tak ada lagi lapangan badminton, arena
bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Pestisida dan pupuk
kimia merusak tanah. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook,
Twitter, online games, warnet, dan bimbel. Pergaulan fisik diganti oleh dunia maya, statistic, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita?
Bukannya
dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak
anak-anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?"
minggu lalu, saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan
menuntaskan 16 mata pelajaran, seorang ibu menyurati saya karena
anaknya yang belajar di MI diwajibkan tuntas 23 mata pelajaran.
Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah hanya
mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit "The Power of Simplicity", kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak akan melahirkan kehebatan".
Bukan
hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga
dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan
karier masa depan. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah
mata ajar yang "sakral", wajib diambil semuanya. Kesakralan itu
sesungguhnya hanya semu saja, karena mata ajar agama disamakan dengan
berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan. Bukan belajar
dari sejarah, tetapi pengetahuan tentang sejarah. Bukan akhlak dan moral
dalam beragama, melainkan hafalan ayat. Dan bukan logika matematika,
melainkan bagaimana menurunkan rumus. Lengkaplah penderitaan anak-anak
kita.
Ubah Cara Pandang
Namun
sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, Cina, dan New
Zealand, ada juga orang tua yang protes. Mereka tak menginginkan
sekolahnya dibuat lebih mudah. “Sekolah itu memang harus sulit dan
anak-anak harus berjuang,”. Kalau dibuat mudah, bagi orang tua ini, maka
sekolah tak akan menghasilkan apa-apa. Saya dapat mengerti pandangan
ini karena anaknya termasuk anak yg cerdas, tuntas semua mata pelajaran
dengan nilai tinggi. Namun saya kurang mengerti bagaimana orangtua rela
menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar.
Mendidik bukanlah
untuk melahirkan orang-orang yang bingung, tahu semua tapi selalu
bertanya "saya harus melakukan apa?" ini adalah realita, semakin banyak
ditemui orang yang tak bisa bekerja dengan prioritas. Anda mungkin
pernah mendengar ucapan Stephen Covey, "Dahulukanlah Yang Utama". Atau
seperti kata Maxwell, "Bekerjalah dengan prioritas karena 80% hasil yang
engkau capai hanya berasal dari 20% upayamu." Orang yang ingin
menuntaskan semua tugas (dan banyak) bisa bagus di ijazah tapi bisa
bingung dalam kehidupan. Kata para ulama, kesempurnaan hanyalah milik
Tuhan. Tetapi seperti Michael Jackson yang sudah sempurna, manusia
selalu ingin lebih sempurna lagi, sampai akhirnya rusaklah wajah, tubuh
dan kesehatan jiwanya.
Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Untuk itulah talenta harus diasah, diberi ruang dan waktu agar ia tumbuh. Leadership maupun entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku sekolah. Diuji dalam interaksi kehidupan.
Tentu
saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping apakah
benar menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karir
sebagai penguji di program S3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji,
yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat. Namanya juga orang
hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi Semua
penguji tidak puas, kandidat digoreng kekiri, diongseng ke kanan hingga
nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai
doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor saya tak punya suara
yang berarti. Saya hanya bertanya, "beginikah cara bapak-bapak menguji
seorang calon doktor?"
Semua
orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa
orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan
terkenal di hadapan publik. Karena malu telah berta-kata bodoh, saya
teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri. Ujian
dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak
ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen hanya
marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi
saran yang saling bertentangan.
Sayapun
mengatakan andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun
tidak akan lulus. Pertanyaan ujian terlalu luas. Di Amerika Serikat,
kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung,
kita tidak dibantai, malah dibantu. Di Indonesia, kalau kita membantu
mahasiswa kita dianggap berkolusi. Di SLTA negara-negara maju, jumlah
mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat
makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode
ilmiah.
Demikianlah
persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih
kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek
ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana
kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.
Saya
tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini
kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Bahkan TKW yang
Sekolah Dasarnya ditempuh dengan sama beratnya dengan para dokter saja
hanya berakhir di ujung kesulitan. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan
ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita?
Saya
juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya
belajar 6 mata pelajaran seperti di New Zealand, Denmark atau
negara-negara industri lainnya? Namun fakta yang saya temui, ternyata
pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan
pendidikan New Zealand terbaik keenam di dunia. Rasanya di sana juga
tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal.
Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?
Rhenald Kasali
Ketua Program MMUI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar